Thursday, November 5, 2009

LANDASAN SOSIOLOGIS DALAM STUDI POLITIK

IHWAL PENGETAHUAN
Ihwal pengetahuan berasal dari fakta bahwa terdapat pemisahan antara sesuatu yang ingin kita ketahui, pengamatan-pengamatan atau pemahaman-pemahaman atas sesuatu yang hendak kita ketahui, dan lambang-lambang yang menggambarkan pengetahuan mengenai sesuatu yang akan kita ketahui. Apabila perbedaan antara “sesuatu”, “konsep”, dan “simbol” tersebut diterima, maka dimungkinkan untuk menjadikan ketiga hal tersebut sebagai titik-tolak analisis politik. Analisis terhadap dunia politik dapat dimulai dengan catatan-catatan tertulis mengenai politik, dalam hal ini simbol yang melambangkan pengetahuan mengenai sosiologi politik. Bukan hal yang mustahil pula untuk memulai analisis politik dengan konsep-konsep tertentu, seperti revolusi, partisipasi politik, konflik, atau teori-teori yang menjelaskan sebab-sebab dan akibat-akibatnya. Akhirnya, boleh jadi analisis politik bertolak dari peristiwa-peristiwa nyata berkenaan dengan revolusi, pemilihan umum, perang saudara, dan kejadian-kejadian sejarah politik lainnya.
Theda Skocpol (1979), seorang sosiolog politik, menyatakan bahwa ia berkesempatan terlebih dulu untuk membaca sejarah mengenai revolusi Perancis, Rusia, dan Cina sebelum membaca teori-teori mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat dari revolusi-revolusi tersebut. Dengan demikian, ia tidak tergesa-gesa untuk menerima teori-teori tertentu yang selintas tampak benar, padahal tidak sesuai dengan fakta sejarah yang telah ia baca. Kenyataan mengenai adanya orang-orang yang memulai analisis politik dengan pengamatan-pengamatan, konsep-konsep, dan simbol-simbol mempunyai dampak lebih lanjut terhadap pemahaman mengenai kenyataan-kenyataan dan tindakan-tindakan politik.
Para analisis politik dengan perspektif yang berbeda akan memberikan versi pemahaman yang tidak sama terhadap apa yang telah terjadi pada tempat dan masa tertentu. Orang seringkali melihat dunia secara berlainan. Hal itu bergantung pada simbol-simbol dan konsep-konsep yang mengorganisasi-kan pengamatan dan pemahaman mereka. Sebagai contoh, anggota Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat akan memiliki pandangan yang berbeda mengenai peranan birokrat atau konglomengrat, orang yang beragama dan ateis akan mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai kebenaran Tuhan, orang Rusia dan Amerika akan memiliki pendapat yang berbeda tentang kondisi kebebasan dan ketertindasan, suami dan istri akan berbeda pendapat mengenai pembagian kerja dalam rumah tangga, orang tua dan anak-anak mereka akan memiliki pandangan yang tidak sama mengenai manfaat dan madarat televisi, dan sebagainya.
Para sosiolog -- Karl Manheim (1936), Alvin Gouldner (1970), dan lain-lain -- berkesimpulan bahwa manusia bertindak sesuai dengan “asumsi dasar-asumsi dasar” (domain assumptions), yaitu anggapan dasar yang berpengaruh secara mendalam dan dipandang kebenaran yang tidak perlu diragukan karena berasal dari pengalaman hidupnya yang sangat mendalam. Oleh karena itu, orang-orang dengan pengalaman hidup berbeda akan memiliki asumsi dasar-asumsi dasar yang tidak sama. Dalam sosiologi politik, asumsi dasar-asumsi dasar demikian tidak dapat diabaikan. Karl Marx, misalnya, beranggapan bahwa kebanyakan persoalan penting yang dapat diketahui tentang dunia berkisar pada alat produksinya, dan bahwa alat produksi menentukan cara berpikir dan bertindak manusia, serta mempengaruhi proses pemerintahan dan organisasi-organisasi sosial lainnya. Sebaliknya, Thomas Hobbes, seorang filosof, berkeyakinan bahwa inti teori politik terletak pada pemahaman mengenai hakikat manusia dan bahwa asumsi dasar mengenai individu melalui proses penalaran abstrak yang bersifat deduktif akan mengarah pada teori mengenai pemerintahan. Max Weber, ilmuwan sosial, beranggapan bahwa tindakan-tindakan individual berorientasi pada makna tertentu, baik secara rasional ataupun emosional, seperti halnya tindakan-tindakan masyarakat yang dipengaruhi oleh dunia material dan simbolik. Dengan demikian, pendekatan-pendekatan yang berbeda akan menghasilkan teori-teori yang tidak sama pula. Dalam kaitannya dengan sosiologi politik, dikenal dua pendekatan, yaitu “perspektif ilmiah atau positivistik” (scientific/positivistic perspekctive) dan “perspektif perbandingan atau sejarah” (historical/comparative persective).

PENDEKATAN ILMIAH ATAU POSITIVISTIK TERHADAP SOSIOLOGI POLITIK
Berdasarkan filsafat ilmu yang dikembangkan oleh Karl Popper, kebanyakan sosiolog masa kini bertolak dari asumsi dasar bahwa ada suatu dunia nyata yang dapat diketahui dalam keadaan objektif. Dunia politik dianggap sebagai dunia nyata dan berada di luar perasaan pengamat. Dunia tersebut dapat dilukiskan dan dianalisis secara objektif; dan, nyatanya, ia bekerja sebagaimana kita mengatakan bagaimana sesungguhnya ia bekerja. Oleh sebab itu, kita dapat membangun teori-teori tentang dunia tadi, menarik hipotesis-hipotesis tertentu darinya, dan membuktikan (kebenaran atau kesalahan) dari hipotesis-hipotesis tersebut. Jika hipotesis tadi terbukti benar dalam pengujian, maka teori tentang dunia tadi dianggap handal. Sebagai contoh, kita dapat berteori bahwa status sosial ekonomi masyarakat menentukan atau mempengaruhi ideologi politik mereka. Status sosial ekonomi secara operasional dapat dibatasi sebagai pandangan-pandangan masyarakat mengenai persoalan-persoalan sosial yang bervariasi dari masalah biaya pertahanan militer sampai masalah sembahyang di sekolah. Selanjutnya, kita berhipotesis atau mengandaikan bahwa masyarakat yang berpenghasilan lebih tinggi cenderung menganut ideologi konservatif, dan – sebaliknya – masyarakat yang berpenghasilan lebih rendah cenderung menganut ideologi liberal. Pengujian terhadap hipotesis tersebut dilakukan dengan melaksanakan penelitian survey terhadap sesuatu sample yang dianggap mewakili populasi dari satuan analisis yang telah ditentukan. Melalui teknik pengunmpulan data tertentu, diperoleh data yang dianggap objektif, valid, dan reliabel. Dengan data yang memenuhi kualifikasi itu, maka akan diketahui kebenaran atau kekeliruan hipotesis tadi. Hipotesis dianggap benar, jika didukung oleh data; sebaliknya, hipotesis dianggap keliru, jika tidak didukung data. Keadaan terakhir menuntut kita untuk menyusun atau membuat teori dan hipotesis baru serta pengujian ulang.
PENDEKATAN PERBANDINGAN ATAU SEJARAH TERHADAP SOSIOLOGI POLITIK
Beberpa sosiolog politik beranggapan bahw apendekatan ilmiah yang memusatkan perhatian atas segala sesuatu yang dapat diukur telah mengabaikan sesuatu persoalan yang sesungguhnya sangat penting. Apa pengaruh partisipasi politik nonelit, terlepas dari tingkat pendapatan dan pandangan politiknya, terhadap keputusan-keputusan bersama? Siapa yang memiliki kekuasaan politik nyata? Bagaimana cara mereka memilikinya? Bagaimana orang menentukan posisi mereka dalam struktur masyarakat? Kapan mereka memutuskan untuk melakukan sebuah revolusi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu dapat dijawab secara lebih baik dengan mempelajari konteks masyarakat-masyarakat yang sedang diteliti berdasarkan perspektif perbandingan atau sejarah. Dalam alur tradisi Karl Marx dan Max Weber. Kebanyakan sosiolog politik memusatkan perhatian pada konsep-konsep sosiologi yang berskala makro. Misalnya, kewenangan, dominasi, protes sosial, atau revolusi. Masing-masing konsep didekati dengan pendekatan perbandingan atau sejarah. Sebagaimana studi-studi yang telah dilakukan oleh Schumpeter (1950), Lenski (1966), Bendix (1978), Ronen (1979), dan Scokpol (1979).
Terlepas dari pendekatan manapun yang dipilih, baik pendekatan ilmiah/positivistik ataupun pendekatan perban-dingan/sejarah, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memahami wilayah kajian sosiologi politik. Hal ini menuntut suatu pemahaman yang relatif mendalam mengenai batasan-batasan yang sesungguhnya dari berbagai konsep terkait pada sosiologi politik.
ARTI PENTING DEFINISI
Sejak masa Aristoteles, upaya-upaya intelektual yang ada merupakan pembuatan definisi. Untuk mendefinisikan sebuah wilayah kajian, kita perlu menentukan katagori-katagori yang dipunyai sesuatu itu. Dengan kata lain, kita dituntut untuk menemukan “cirri khas” (differentia specifica), yang membedakan sesuatu yang sedang dipelajari dari segala sesuatu lainnya. Apabila kita mempelajari ilmu politik, maka – untuk pertama kali – kita dituntut untuk menentukan definisi ilmu politik. Pada gilirannya, dengan definisi itu, kita dapat menemukan persamaan dan perbedaan antara ilmu politik dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, misalnya ilmu ekonomi atau antropologi budaya.
Tanpa batasan yang jelas mengenai wilayah-kajian ilmu politik, maka kita tidak akan mendapatkan pengetahuan yang handal dan terpercaya dalam mengembangkan dalil-dalil yang logis. Pengetahuan demikian merupakan kriteria yang membatasi sesuatu disiplin ilmu.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN POLITIK?
“Ciri khas” (differentia specifica) dari sosiologi politik, tentu saja, politik. Dalam pengertian yang umum, politik berarti siyasat atau manuver yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk mendapatkan keuntungan relatif. Keuntungan nisbi tersebut dapat bersifat pribadi atau kolektif. Keuntungan pribadi tergamit, misalnya, ketika seseorang memanfaatkan pengaruh yang timbul dari jabatannya yang tinggi, sehingga mendapatkan hak istimewa (previlege) yang tinggi dan dipandang sebagai haknya. Keuntungan kolektif tercapai, contohnya, manakala suatu organisasi sosial yang lebih lama menuntut pungutan-pungutan terhadap tunjangan-tunjangan yang diperoleh oleh kelompok-kelompok yang lebih baru. Dalam pengertian demikian, gejala politik muncul di berabagi unit social, baik besar ataupun kecil. Akan tetapi, dalam pengertian lain, politik dibatasi pada perjuangan demi keuntungan relatif yang hanya melibatkan agen pemerintahan dan terjadi pada unit sosial yang disebut negara.
POLITIK DAN MAKNA SIMBOLIK
Politik tidak semata-mata memamerkan sesuatu. Kesepakat-an atas makna-makna tertentu telah, sedang, dan akan diperjuangkan secara menetap, sehingga dapat mengikat masyarakat selama kurun waktu tertentu. Manakala makna-makna dipersoalkan, mereka dapat menerimanya tanpa syarat, dan menjadi sebuah “profesi yang mengisi dengan sendirinya”. Dalam kaitan ini, sesuatu dianggap nyata, sehingga akibatnya pun dianggap nyata pula (Thomas & Thomas, 1928).
Hubungan antara kenyataan dan dampak dengan makna politik digambarkan oleh seorang Humoris, Art Buchwald (1981), dalam sebuah lelucon. Ia menampilkan sebuah karakter fiktif, yaitu Profesor Applebaum dari Institut Politik Spektrum. Karena alasan dana bantuan untuk kepentingan politik luar negerinya, ia melibatkan para pemimpin asing, baik pemimpin asing yang moderat maupun pemimpin asing yang nyata-nyata menyatakan perlawanan terbuka dan militan. Sikapnya didasarkan pada kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari kecenderungan-kecenderungan para pemimpin asing terhadap dua negara adidaya: anti Uni Soviet atau anti Amerika Serikat. Dengan demikian, Moammar Khadafi dari Libia semula dianggapnya moderat karena sekalipun selalu mengekspor revolusi, namun memiliki ladang minyak yang kaya. Belakangan, Khadafi pun dianggap lawan karena mulai menentang Amerika Serikat. Dengan demikian, orang, rejim, atau gerakan politik dapat disikapi sebagai musuh atau sahabat, berbahaya atau tidak, bergantung atas kepentingan ideologis dari pembuat definisi dan atas kemampuannya untuk memaksakan definisi yang mereka buat. Singkatnya, definisi seperti itu ditentukan oleh bantuan yang kita terima dari sesuatu negara atau pasukan yang mereka kirimkan untuk menyerang kita.
Seorang antropolog, Peggy Reeves Sanday (1981), telah mempelajari cara eksternal dari makna-makna mempengaruhi identitas seseorang dengan mengkaji bagaimana pola-pola budaya berhubungan timbal-balik dengan pola-pola kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat. Berdasarkan catatan sejarah dan antropologi, ia menemukan bahwa tidak semua masyarakat menempatkan wanita pada posisi yang lebih rendah daripada pria, sehingga dominasi kaum pria bukan gejala universal, dan wanita dituntut untuk memiliki porsi yang sama dalam menduduki kekuasaan serta menjelankan pengaruh, jika wanita dan pria berkeinginan menciptakan suatu tatanan dunia masa depan yang sama.
Kebudayaan memainkan sebuah peranan dalam pandangan tanpa syarat kita mengenai dunia. Penemuan Sanday bahwa dominasi pria atas wanita bukan gejala universal menolak keyakinan bahwa dominasi pria atas wanita sebagai bagian dari tananan hokum alam. Takdir tentang apa maknanya menjadi seorang pria atau wanita merupakan salah satu contoh tentang apa yang kita kenal sebagai “negosiasi makna”. Hasil negosiasi tersebut menjadi nyata, dan definisi demikian mempunyai akibat-akibat yang nyata pula.
Politik sebagai sebuah proses pencapaian tujuan, dengan demikian, dapat diarahkan menuju hal-hal yang bersifat material atau mengarah pada system-sistem definisi, makna, kesepakatan, dan ideology. Ia bukan persoalan fakta, melainkan masalah fakta yang diyakini, baik sesuai dengan fakta atau tidak, atau jika apa yang diyakini itu memiliki landasan dalam kenyataan.
POLITIK, PARTISIPASI, DAN KEKUASAAN
Arti sesungguhnya dari istilah politik (politics) berasal dari istilah Yunani untuk menyebut kota (polis). Orang-orang yang mempunyai hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan kota disebut “politisi” (politician). Dengan demikian, politik berkenaan dengan hak untuk berperan serta dalam keputusan-keputusan bersama yang mempengaruhi kehidupan seseorang. Keputusan-keputusan politik berkaitan dengan pemilihan tujuan-tujuan bersama dan cara-cara yang mungkin untuk mencapai tujuan tersebut. Keputusan-keputusan demikian dapat membawa kita untuk bergabung atau bertentangan dengan yang lain.
Akan tetapi, hak untuk berpartisipasi tidak berarti bahwa semua orang melaksanakan partisipasi secara sama. Tanpa kesamaan sumber-sumber kekuasaan, seperti waktu atau informasi untuk menentukan pilihan atau uang untuk tarnsportasi ke tempat pemungutan suara, maka partisipasi yang sama merupakan sebuah ketidakmungkinan. Selama orang-orang yang mempunyai sumber-sumber lebih sering memiliki kesempatan lebih besar untuk berpartisipasi daripada orang-orang yang tidak memiliki sumber-sumber itu, maka kebanyakan sosiolog politik berkeyakinan bahwa criteria pembatas yang terpenting (differentia scientifica) dalam sosiologi politik adalah “kekuasaan” (power). Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sesuatu kelompok untuk mewujud-kan keinginan-keinginan mereka. Kemampuan mempergunakan kekuasaan tergantung pada kemampuan mengendalikan sumber-sumber yang ada.
Dalam negara-kota Yunani kuno, kemampuan untuk mengambil bagian dalam proses pembuatan keputusan umum (berpartisipasi dalam kehidupan politik) didasarkan pada tempat tinggal seseorang di negara kota tersebut. Di negara-kota semisal Athena, hanya sekitar 20% dari penduduknya yang diperbolehkan berpartisipasi dalam proses pembuatan keputus-an-keputusan negara. Penduduk-penduduk lainnya yang berjumlah sekitar 80% terdiri dari para budak, penduduk asing, dan wanita tidak diberi hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik tadi.
Sebuah definisi mengenai sosiologi politik sebagai sebuah studi terhadap partisipasi dalam proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan seseorang terlalu luas dan – sekaligus – terlalu sempit. Seperti negara-kota Yunani (yang sering dianggap sebagai tipe awal dari negara demokrasi), rejim-rejim yang represif dewasa ini, telah menghalangi sejumlah besar rakyat untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, sekalipun kita tidak mendefinisikan bahwa realitas system politik tadi berada di luar batasan sosiologi politik.
KEPUTUSAN POLITIK DAN KEPUTUSAN NOPOLITIK
Beberapa orang mengatakan bahwa politik, sebagaimana tersurat dalam istilah aslinya, berkenaan dengan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan suatu entitas politik. Yang lainnya memakai suatu definisi yang lebih luas dan berargumentasi bahwa gejala politik ada dimanapun terjadi persaingan kekuasaan. Dari perspektif yang luas ini, politik dianggap menggejala di mana-mana. Selama kedua definisi di atas mencakup persoalan pembuatan keputusan, maka salah satu persoalan kita yang pertama adalah membedakan antara keputusan-keputusan politik dengan keputusan-keputusan nonpolitik.
Definisi yang luas dari politik mencakup semua proses pembuatan keputusan. Dengan demikian, penyelesaian konflik antara orang tua dengan anak, suami dengan istri, guru dengan murid, sahabat dengan sahabat, dan sebagainya dapat dianggap sebagai persoalan politis. Dalam bahasa sehari-hari, kita menyebut istilah “politik resmi” (office politics), yaitu suatu proses dari dua partai atau lebih mencapai kesepakatan atau persaingan. Politik-resmi pun berarti bagaimana keputusan-keputusan mengenai siapa yang mendapatkan sumber apa dibuat dan bagaimana promosi-promosi dibuat. Atasa dasar itu pula, keputusan-keputusan yang dibuat oleh sebuah keluarga (bertamasya di hari Minggu atau berdiam diri di rumah) sering disebut dengan istilah “politik seksual” (sexual politics). Dalam arti luas, selama orang-orang mempertahankan miliknya dari gangguan orang lain, bagaimana membagikan kekayaan, perlu tidaknya babi hutan diburu, mereka harus membuat keputusan politik.
Barangkali, tindakan politik yang pertama, dalam arti ini, terjadi ketika seorang anak kecil mempertanyakan mainannya dan berkata, “Ini milikku!”, atau tatkala orang tua mengatakan, “Kamu harus memberikannya!” Selamanya, politik berkaitan dengan persoalan “Siapa mendapatkan apa, kapan, dan di mana mendapatkannya”, politik berkenaan dengan kemampuan membuat dan mengendalikan keputusan-keputusan tersebut. Dengan demikian, politik berhubungan dengan kekuasaan; dan, sebagaimana telah kita lihat, kekuasaan ditentukan oleh sumber-sumbernya.
Beberapa orang beranggapan bahwa tidak semua keputusan, dan tidak semua penggunaan kekuasaan, bersifat politis. Mereka berpendapat bahwa pernyataan, “Ini milikku!” dalam konteks keluarga tidak menjadi perhatian sosiologi politik, kecuali dalam konteks publik atau politis. Oleh sebab itu, pernyataan anak kecil yang menyatakan. “Mainan itu milikku!” dan apa yang menjadi miliki kami merupakan bagian dari sosialisasi politik. Pengakuan orang tua bahwa tanah tempat tinggal mereka adalah “milik kami” merupakan sesuatu yang bersifat politis jika hal itu dihadapkan dengan pengakuan yang sama dari pemerintah. Oleh sebab itu, pinjaman yang diberikan bank kepada seseorang merupakan keputusan ekonomi atau bisnis, bukan keputusan politis. Akan tetapi, penolakan bank untuk memberikan pinjaman uang berdasarkan usia, jenis kelamin, atau ras dapat menyeret kepada situasi yang bernuansa politis, terutama jika perlakuan diskriminatif tadi melanggar peraturan-perundangan yang berlaku. Tentu saja, keputusan-keputusan pemerintah untuk mengatur perbankan, termasuk peraturan-perundangan yang mempengaruhi keputusan bank dalam memberikan pinjaman, merupakan bagian dari proses politik. Lobbying yang dilakukan agar bank-bank berpengaruh atas proses pembuatan undang-undang pun termasuk politis, sebagaimana penjatuhan sanksi terhadap bank yang memberikan pinjaman pada Afrika Selatan. Perampokan sesuatu bank untuk membiayai kegiatan para teroris tidak secara langsung bersifat politis, tetapi hokum-hukum tentang perampokan bank dan fungsi polisi, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan bersifat politis, sebagaimana kegiatan-kegiatan para teroris yang didorong oleh tujuan-tujuan politis.
Kesulitan-kesulitan untuk memisahkan hal-hal yang bersifat politis dari kehidupan sehari-hari tergambarkan oleh kasus berikut ini. Di Sisilia, seorang mahasiswa yang ingin mendapatkan kebaikan dari seorang professor harus tahu bagaimana mendekati politisi local. Politisi tersebut biasanya merencanakan pertemuan melalui seorang perantara, dan mahasiswa menjanjikan kampanye untuk kepentingan politisi tadi pada pemilihan umum yang akan dating. Demikian pula halnya di Amerika Serikat. Pemimpin politik telah mendapatkan kesetiaan dan suara dari para birokrat dan anggota dewan perwakilan yang mendapatkan pekerjaan bagi mereka sendiri ataupun bawahannya.
Dengan demikian, bagaimana proses politik dibedakan dari proses nonpolitik? Jawabannya terletak pada suatu konsep mengenai system social. Masyarakat sebagai salah satu jenis dari system sosial dapat dibagi secara analitis ke dalam tiga subsistem yang saling berhubungandan terhadap lingkungan alam: struktur social, kebudayaan, dan kepribadian. Struktur sosial (sosial structure) menunjuk pada posisi-posisi yang diduduki oleh anggota-anggota masyarakat (seperti: ayah, murid, kasir, dan sebagainya) serta cara-cara yang menghubungkan masing-masing kedudukan tersebut. Kebudayaan (culture) mencakup keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan kaidah-kaidah yang membimbing perilaku (seperti kaidah monogami) dan cara-cara keyakinan, nilai, serta kaidah dilembagakan dalam institusi-institusi social. Kepribadian (personality) meliputi hasrat-hasrat yang dipunyai masyarakat (kebutuhan terhadap pangan, sandang, dan permukiman), pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan, tindakan-tindakan mereka, dan ketentuan-ketentuan yang telah terinternalisasikan kepada mereka untuk mematuhi atau menjauhi segala yang diharuskan dan dilarang oleh struktur dan kultur masyarakat dalam memenuhi semua hasrat tersebut.
Lembaga sosial (institution) didefinisikan sebagai cara-cara tertentu yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengartikulasikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, baik yang bersifat personal ataupun social. Lembaga-lembaga sosial dasar mencakup pendidikan, keluarga, ekonomi, agama, dan politik. Para sosiolog mendefinisikan lembaga sosial politik (institution of politics) sebagai komponen masyarakat yang berkaitan dengan pengartikulasian atau pencapaian tujuan-tujuan masyarakat serta pemecahan masalah, baik yang bersifat internal ataupun eksternal. Fungsi pertama berkenaan dengan pembuatan keputusan, seperti keputusan mengenai perimbangan dana untuk senjata dan pangan. Fungsi kedua mencakup peranan polisi, angkatan perang, dan pengadilan serta pembuatan dan pelaksanaan hokum. Dalam masyarakat industrial, komponen structural dari lembaga sosial politik tampak dalam pemerintahan.
Dengan demikian, keputusan-keputusan keluarga sebagaimana telah didiskusikan sebelumnya tidak termasuk ke dalam keputusan-keputusan politik. Demikian pula keputusan-keputusan bisnis tentang kebijakan pemberian pinjaman jika berada di luar lingkungan lembaga sosial politik. Keputusan-keputusan keluarga dan perusahaan dapat mempunyai dimensi politik jika hal itu mempengaruhi atau dipengaruhi pemerintahan. Manakala terdapat aspek-aspek pemerintahan dalam pembuatan keputusan-keputusan bisnis, maka keputusan-keputusan itu terkaitsecara politisatau salah satu bagian dari politik ekonomi masyarakat.
UNIT ANALISIS SOSIOLOGI POLITIK
Perbedaan antara keputusan politik dengan keputusan nonpolitik menimbulkan persoalan. Apakah negara bangsa (nation state) merupakan satu-satunya unit analisis sosiologi politik? Dalam dunia industri modern, pemerintahan difahami dalam konteks negara bangsa, sehingga cenderung mendefinisikan sosiologi politik sebagai suatukajian terhadap negara bangsa. Dalam kenyataannya, system politik formal seperti itu tidak selalu ada, bahkan – dewasa inipun – tidak semua masyarakat dapat dikatagorikan sebagai negara bangsa. Pada masa lalu, terdapat banyak negara tanpa pimpinan. Sampai sekarang, masyarakat demikian masih ada. Pada tahun 1945, ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan, anggotanya berjumlah 51 negara-bangsa. Dewasa ini, anggota PBB telah mencapai 160 negara-bangsa. Dari mana negara-bangsa itu berasal? Berapa jumlah anggota PBB pada 20 tahun mendatang? Apakah negara-bangsa merupakan bentuk akhir institusi politik? Lebih lanjut, apakah negara-negara yang tidak termasuk negara bangsa tidak terlibat dalam proses politik?
Asumsi yang mendasari tulisan ini adalah tidakada masyarakat yang tidak terlibat dalam proses politik. Bahkan, sekalipun pada masyarakat pemburu dan pengumpul makanan pada masa-masa prasejarah. Paling tidak, keputusan bersama dibuat untuk menentukan apakah binatang tertentu dapat diburu atau buah tertentu dapat dipetik. Demikian keputusan untuk menghimpun semua anggota masyarakat dalam rangka berdamai atau berperang dengan masyarakat lain.
Seseorang dapat menggambarkan dan menjelaskan kegiatan-kegiatan politik pada masyarakat pemburu dan pengumpul makanan serta pastoral sekitar tahun 4.000 sebelum Masehi, sekalipun gejala negara belum muncul sampai terdapat pemukiman yang relatif menetap bagi masyarakat manusia sekitar tahun 10.000 sebelum Masehi. Jenis awal negara modern tampak pada negara-kota (city state) di Yunani sekitar tahun 1.000 sebelum Masehi, dan negara-modern baru muncul pada abad ke-15. Negara kota dan negara modern tidak berbeda dengan suku, kerajaan feodal, dan imperium. Oleh karena itu, negara modern merupakan pendatang baru dalam panggung sejarah. Politik telah ada jauh sebelum kedatangannya.
Dalam perspektif kekinian, keberadaan 160 negara-bangsa merupakan sebagian kecil dari sekitar 2.000 atau lebih masyarakat yang dikatagorikan tidak termasuk ke dalam negara bangsa. Terdapat berbagai kelompok etnis dan masyarakat suku yang seluruhnya terdapat dalam masyarakat politik. Sebagai contoh, berbagai jenis kelompok Indian di Amerika Serikat atau Ainu di Jepang. Mereka berada dalam batas-batas bangsa, seperti suku Ibo di Afrika Barat. Kelompok-kelompok seperti itu, bersama-sama dengan kelompok negara bangsa, telah membentuk suatu sistem politik. Oleh karena itu, merekapun termasuk unit analisis sosiologi politik.
Banyak contohmenunjukkan gejala politik di luar konteks negara-bangsa. Salah satu contoh adalah konflik berdarah pada masyarakat-tanpa-pimpinan Nuer. Ketika konflik antarkeluarga terjadi, masyarakat Nuer tidak menggunakan lembaga peradilan dalam menyelesaikan perselisihan. Karena pengelompokan masyarakat Nuer didasarkan pada kesamaan keturunan, bukan kesamaan tempat tinggal, maka penyelesaian pertikaian dilakukan oleh pihak ketiga di kalangan mereka sendiri.
Dalam negara bangsa, perselisihan yang timbul biasanya berkenaan dengan kedaulatan atas wilayah-wilayah tertentu. Di bagian Utara dari negara bagian New York, sekelompok orang kulit putih menebang pohon di hutan yang dikeramatkan oleh suku Indian Mohawk. Penduduk pribumi menemukan orang-orang tersebut, merampas perlengkapan, danmengusir mereka dari hutan itu. Polisi negara bagian New York dating dan menangkap penduduk asli Amerika. Apakah polisi negara itu memiliki kewenangan hokum atas hutan tersebut? Berkenaan dengan itu, suku Indian Mohawk terbagi ke dalam dua kelompok: kelompok yang menganggap mereka sebagai sebuah bangsa Mohawk yang otonom dan kelompok yang menempatkan diri pada posisi sebagai orang yang telah berbaur. Kelompok pertama beralasan bahwa mereka mempunyai kedaulatan atas tanah tadi berdasarkan perjanjian internasional yang menyatakannya sebagai milik mereka, dan mereka hanya berhubungan dengan Sekretaris Negara, bukan polisi negara bagian.
Relevansi negara-bangsa pun ditentang oleh para penganjur paradigma (model teoritis) politik ekonomi dunia (Lihat, misalnya, Wallerstein, 1974, 1979, 1984; Chirot, 1977). Berdasarkan perspektif ini, kekuatan dominan dalam dunia politik modern adalah suatu kelompok kapitalis yang ada pada masyarakat inti dan telah mempunyai tempat sejak tahun 1450. manakala anggota-anggota kelompok itu berubah, merekamemainkan sebuahperanan penting dalam urusan dunia dengan membantu negara-negara pada masyarakat-masyarakat pinggiran (semisal masyarakat-masyarakat koloni di Asia dan Afrika) sebagai suatu cara untuk mengawasi mereka sambil menguras sumber-sumber mineral dan tenaga kereja murah. Dalam hubungan ini, unit analisis sosiologi politik bukan negara-bangsa, melainkan duniapolitik ekonomi.
Selama system-sistem sosial membutuhkan pengaturan atas interaksi ekonomi atau perdagangan, memelihara perdamaian, mempertahankan kekayaan mereka, dan melindungi surplus yang mereka dapatkan, maka mereka melaksanakan fungsi politik. Selama pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut membutuhkan biaya, beberapa mekanisme untuk meningkatkan dana dalam rangka pembiayaan administrasi militer, polisi, dan sarana umum lainnya yang dibutuhkan. Dana tersebut dpaat ditingkatkan melalui pajak sebagaimana terjadi di dalam masyarakat Amerika sekarang ini, melalui sedekah seperti terdapat pada Gereja Mormon, melalui pengerahan tenaga kerja sebagaimana terjadi pada masyarakat Mesir Kuno, atau melalui tanam paksa sebagaimana terjadi pada masyarakat feudal. Dengan demikian, proses-proses politik ataupemerintahan mencakup pembuatan undang-undang, pembagian kemakmuran, pendidikan, dan kesejahteraan ataupun pengumpulan sumber-sumber daya melalui mekanisme-mekanisme sepertiperpajakan untuk pembiayaan fungsi-fungsi politik atau pemerintahan di atas.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, politik meliputi faham “kekuasaan” (power). Kekuasaan melibatkan penggunaan ekonomi, sumber daya, kekuatan, kekerasan, bujukan, atau cara-cara lain yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan apa-apa yang ia atau mereka inginkan atau untuk memaksakan dominasi terhadap orang atau kelompok lain yang tidak berkekuasaan. Akan tetapi, dalam hubungan ini, terdapat factor penting lainnya sebagai tambahan atas konsep kekuasaan. Orang-orang, baik di dalam atau di luar struktur pemerintahan, mengharap para pejabat dengan kedudukanpenuh kekuasaan untuk bertindak dengan cara-cara yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Ketika tuntutan tersebut terpenuhi, maka pemerintah dianggap telah memiliki kesahihan (legitimacy).
Singkatnya, sambil mengabaikan hal-hal yang berada di luar lingkungan lembaga politik sebagaimana difahami perspektif ilmiah, tulisan ini berusaha memusatkan perhatian pada proses-proses yang terjadi di luar konteks negara bangsa, tetapi masih berada di dalam lingkungan lembaga politik sebagai bagian dari unit analisis sosiologi politik. Kita menerima kerangka berpikir bahwa sejarah atau perbandingan politik. Setiap babak dalam perkembangan sejarah manusia harus dimasukkan ke dalam unit-unit analisis sosiologi politik, dan -- dalam setiap babak – setiap unit yang ada harus disahkan sebagai unit analisis. Dengan demikian, tulisan ini telah menetapkan bahwa konsep sosiologi politik lebih luas daripada pandangan yang menyatakan bahwa studi politik terbatas pada negara bangsa, dan lebih sempit daripada pandangan yang menjadikan studi politik sebagai studi atas semua penggunaan kekuasaan dalam membuat berbagai keputusan umum dimanapun dan kapanpun.
BEBERAPA PERSPEKTIF TEORITIK DALAM SOSIOLOGI POLITIK
Perspektif teoritik adalah kerangka kerja yang luas dan berfungsi untuk menentukan masalah-masalah yang terpilih untuk dijadikan unit analisis dan metode-metode yang dapat digunakan untuk membahas masalah-masalah tersebut. Para sosiolog politik sering membedakan perspektif teoritis ke dalam dua kelompok utama: perspektif consensus dan perspektif konflik. Dalam kaitan ini, dapat ditambahkan perspektif ketiga, yang mencobagabungkan pandangan-pandangan yang berbeda dari kedua perspektif di atas, yaitu perspektif konstruksi sosial atas realitas politik.
Para teoritisi consensus, termasuk aliran structural fungsional dan aliran pluralisme, berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat demokrasi Barat, terlepas dari perselisihan mereka terhadap hal-hal khusus, mempunyai kesepakatan luas dalam hal-hal yang mendasar. Kespekatan tersebut meliputi keyakinan tentang peluasan kesempatan untuk berpartisipasi dalam bidang politik berdasarkan prinsip satu orang satu suara (one man one vote) dan prinsip jaminan hukum atas kebebasan berpendapat dan berserikat. Kesepakatan itupun mencerminkan keyakinan bahwa kesamaan ekonomi (sekalipun tidak merata) muncul melalui kesempatan yang sama untuk menaiki atau menuruni tangga mobilitas sosial serta keyakinan bahwa konflik harus diselesaikan melalui peradilan yang ditetapkan oleh undang-undang. Bukan taktik-taktik lain yang tidak konvensional. Para teoritisi consensus percaya bahwa hal itu merupakan wujud dari pelaksanaan demokrasi.
Para teoritisi consensus cenderung mengambil pandangan yang relatif sempit mengenai sosiologi politik. Unit analisis mereka adalah negara-bangsa-demokratis. Ketika para teoritisi ini dihadapkan pada perubahan sosial politik, kecenderungan jawaban mereka adalah bagaimana seharusnya demokrasi disebarluaskan ke seluruh dunia. Mereka cenderung melihat masyarakat-masyarakat Barat digerakkan oleh beberapa elit yang saling bersaing dan berusaha menarik simpati para pemilih (pandangan teori pluralis mengenai elit) ketimbang digerakkan oleh sebuah elit yang sangat berkuasa (pandangan teori konflik mengenai elit). Selama consensus atas kaidah-kaidah dan nilai-nilai dasar dipandangsebagai variabel penjelas kehidupan politik, mereka cenderung melihat proses sosialisasi politik (pemahaman dan penginternalisasian kaidah-kaidah, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan suatu kebudayaan) sebagai sesuatu factor yang memainkan peranan sangat penting bagi kebangkitan dan kelestarian system politik demokratis. Pendidikan sama pentingnya dengan media massa yang bebas karena pendidikan dan media massa merupakan agen-agen sosialisasi politik. Selama proses pemilihan umum dianggap sebagai pernyataan utama dari kebebasan berpolitik, para teoritisi inipun cenderung memberikan perhatian besar atas pemilihan umum.
Sejak tahun 1920-an sampai dengan 1960-an, sosiologi politik berkembang di Amerika Serikat sebagai sebuah pengetahuan empiris yang terutama berkenaan dengan kajian atas sikap-sikap dan perilaku-perilakuk di negara-negara demokratis. Dalam bentuk ini, yang didominasi oleh perspektif consensus, terangkum oleh sebuah buku yang ditulis oleh seorang sosiolog politik, Seymor Martin Lipset, yang berjudul Political Man (1981). Pada awal tahun 1960-an, ketika perubahan sosial dan pergolakan politik terjadi secara intensif, para sosiolog politik mempersoalkan dan – akhirnya – meninggalkan model pemahaman terdahulu. Secara bersama-sama, karya-karya berikutnya menyajikan sebuahparadigma baru yang disebut sosiologi konflik (Lihat Anderson, 1974; Tilly, 1978; Gamson, 1975; Szymaski, 1978; dan Wallerstein, 1974, 1979, 1984).
Perdebatan dari para penganjur kedua perspektif yang berbeda itu sebenarnya telah dimulai sejak sebelum tahun 1960-an. Perspektif konflik dipelopori oleh Karl Marx pada abad ke-19 dan dilanjutkan oleh C. Wright Mills pada tahun 1050-an. Oleh karena itu, wajar jika dikatakan bahwa perspektif consensus berperan hingga akhir tahun 1960-an atau awal tahun 1970-an serta mempertimbangkan periode antara tahun 1968 sampai 1973 sebagai saat-saat transisi, yaitu tahun-tahun ketika perspektif konflik mulai mendapat perhatian luas.
Para teoritis konflik, yang menganut faham Marxis, radikal, dan elit berkekuasaan, cenderung meyakini bahwa consensus merupakan sebuah ilusi, menyembunyikan perbedaan-perbedaan penting dalam kekuasaan, pengaruh, dan kepentingan nyata dari berbagai kelompok. Lebih lanjut, mereka cenderung mempercayai bahwa perbedaan-perbedaan tersebut lebih banyak menimbulkan ketegangan dalam system politik daripada membentuk consensus.
Teori konflik cenderung melihat mekanisme-mekanisme yang mendukung kestabilan politik kurang penting daripada potensi-potensi system untuk berubah. Ia melihat pemilihan umum sebagai suatu pemecahan masalah yang bersifat semu dalam mempertahankan kesahihan elit penguasa, ia melihat struktur sosial (terutama pembagian kelas) lebih penting daripada kaidah-kaidah dan nilai-nilai kebudayaan dalam menentukan perilaku politik individu danmasyarakat. Teori ini cenderung melihat masyarakat digerakkan oleh elit yang kurang lebih bersatu daripada beberapa elit yang saling bersaing.
Perspektif utama ketiga, yang dibahas dalam buku ini, adalah perspektif konstruksi sosial atas realitas (lihat Berger dan Luckmann, 1967), yang mencakup teoriinteraksionisme simbolik dan sosiologi pengetahuan. Para teoritisi konstruksi sosial menekankan bahwa makna-makna dari berbagai aspek system politik dibangun dan dinegosiasikan daripada diberikan, makna-maknatersebut menguatkan atau – sebaliknya – melemahkan stabilitas system. Posisi konstruksi sosial menerima adanya konflik dan konsensus berkenaan dengan perjuangan atas nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan, tetapi ia menolak bahwa pengetahuan universal akan menyelesaikan persoalan-persoalan social, atau bahwa kelas-kelas masyarakat tertentu akan membawa ke arah masa depan yang lebih baik. Sesuai dengan perspektif konstruksi social, perjuangan bagi tatanan dan perubahan sosial terletak pada kemampuan membuat definisi atas makna-makna. Tatanan sosial dan perubahan sosial dapat dijelaskan dengan melakukan konstruksi sosial atau menafsirkan realitas sosial.